Selasa, 27 Desember 2011


BAB II
KONSEP PENGELOLAAN HUTAN BAKAU DI INDONESIA DAN
BENTUK  SANKSI HUKUM BAGI PENEBANGAN HUTAN BAKAU
A.    Konsep Pengelolaan Hutan Bakau (Mangrove)
1.      Konsep pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia
       Mangrove menggambarkan sumber kekayaan dan keanekaragaman kehidupan, pada suatu negara di mana tekanan penduduk dan ekonomi terhadap zona pantai cukup tinggi, seperti halnya Indonesia, hutan mangrove dikenal sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber ekonomi nasional yang sangat berharga.
       Hutan mangrove sering juga disebut hutan bakau, hutan pasang surut, atau hutan payau. Mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas tumbuhan atau semak-semak/rumput-rumputan yang mempuyai kemampuan untuk tumbuh dilaut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan yang menyusun hutan mangrove seperti jenis : Rozophora spp dan Margal untuk komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan jenis Rizophora. Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya terdapat di sepanjang wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak, pantai yang datar/landai dan sekitar muara sungai yang besar.[1]
            Hutan mangrove merupakan sumber daya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan. Baik yang hidup diperairan, di atas lahan maupun ditajuk-tajuk pohon mangrove, serta ketergantungan manusia terhadap hutan mangrove karena hutan mangrove tersebut memiliki beberapa fungsi antara lain:
1.      Sebagai pelindung pantai dari gemburan ombak, arus dan angin.
2.      Sebagai tempat berlindung, berpijak atau berkembang biak dan daerah asuhan jenis biota
3.      Sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus)
4.      Sebagai sumber bahan baku/industry
5.      Pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya
6.      Tempat pariwisata.[2]
       Pada umumnya ada keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi mangrove diantara penentu kebijakan dan masyarakat umumnya, dan akibatnya hutan mangrove seringkali dipandang sebagai areal-areal hutan kritis/rusak serta tidak berharga, yang perlu dipakai untuk kegunaan pemanfaatan lain yang produktif, meskipun demikian, nilai hakiki ekosistem mangrove sangat besar dan hanya akan disadari ketika investasi besar diperlukan untuk melindungi pantai dan bangunan-bangunan treatment air, sehingga dilakukan upaya untuk merehabilitasi kembali fungsi alami hutan mangrove.
       Berdasarkan undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu pemerintah bertanggung jawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, mengelola dan atau memanfaatkan  hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitas hutan untuk tujuan untuk perlindungan konservasi (pasal 43)
Pada dasarnya terdapat tiga pilihan untuk pengelolaan dan pengembangan mangrove:
1.      Perlindungan ekosistem dalam bentuk aslinya
2.      Pemanfaatan ekosistem untuk menghasilkan berbagai produk dan jasa yang didasarkan pada prinsip kelestarian.
3.      Pengubahan (perusakan) ekosistem alami, biasanya untuk suatu pemanfaatan tertentu.[3]
       Namun dalam kenyataannya, pertimbangan ekonomi dan ekologis tidak dapat dipisahkan dalam mengevaluasi berbagai alternative pengelolaan mangrove. Pernyataan ini mencerminkan tumbuhnya apresiasi makna ekonomi ekosistem mangrove. Karenanya konservasi dan pemanfaatan mangrove tergantung sepenuhnya pada perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove, usulan pengembangan dan kegiatan insidential yang mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan pengelolaan.
       Demikian selanjutnya menurut Dahuri dkk (1996) pemahaman sistem hukum baik formal maupun non formal terhadap peraturan yang ada sangatlah bervariasi, sehingga terjadinya kegiatan penkorvesian suatu lahan yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh kelompok masyarakat dapat terjadi disebabkan oleh factor-faktor seperti potensi, keterjangkauan, kebijakan dan peraturan yang terkait terhadap daerah setempat.
       Sebagian masyarakat menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok atau dikonversikan untuk keperluan lain, dari pada hanya lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga dunia akan menjadi sangat suram, bahkan tinggal kenangan.
       Surat keputusan Menteri kehutanan, 2002 menyatakan bahwa kesalahan dalam mengelola hutan akan memberi dampak yang sangat besar terhadap kondisi sosial, ekonomi maupun lingkungan. Sebenarnya pengelolaan hutan di Indonesia mempunyai dasar yang cukup kuat yaitu dengan dikeluarkannya keputusan Menteri kehutanan tentang hutan kemasyarakatan, dengan butir-butir penting sebagai berikut:
1.      Pengelolaan hutan dirubah dari sistem hutan berbasis produksi kayu (timber management) menjadi bebasis sumber daya hutan yang berkelanjutan (Resources Based Management)
2.      Pemberian hak pengusahaan hutan yang awalnya lebih ditujukan kepada usaha skala besar, beralih kepada usaha berbasis masyarakat (community Based Forest Management)
3.      Orientasi keletarian hutan yang ditekankan pada aspek ekonomi, (produksi kayu) saja, diubah pada upaya mengakomodir kelestarian fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan.
4.      Pengelolaan hutan yang semula sentralistis menuju desentralistis, memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengelola hutan secara demokratis, partisipatif dan terbuka.
5.      Era produksi, yang mengutamakan hasil kayu akan dikurangi secara bertahap, menuju era rehabilitasi dan konservasi untuk pemulihan kualitas lingkungan yang lestari.
            Dengan adanya pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, dan menghadapi tantangan era globalisasi serta pelaksanaan otonomi daerah, maka perlu disiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, mandiri dan berperan aktif sebagai pelaku pembangunan kehutanan, sehingga diperlukan suatu upaya pemberdayaan masyarakat untuk membangun, menguatkan dan mengembangkan kelembagaannya serta dilakukan pendampingan secara berkelanjutan menuju kearah kemandirian.
                   Penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya hutan di Indonesia yang terjadi pada satu dasawarsa terakhir yang diakibatkan pengelolaan yang kurang tepat serta semakin meningkatnya praktek pencurian kayu (illegal logging). Kondisi ini mengakibatkan pergeseran paradigma pembangunan kehutanan yang semula bertumpu pada “Timber Based Management” menjadi pendekatan ekosistem: “Resource Based Management” yang berbasis pada “forest Community Based Development “FCBD)”.Dengan demikian pembangunan kehutanan harus memperhatikan daya dukung ekosistem sehingga fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial dapat selaras dan seimbang.
                   Salah satu sumber daya hutan yang perlu dilestarikan adalah hutan bakau (mangrove). Hutan bakau adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang biak di daerah tropis dan keberadaannya sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah penyambung dan penyeimbang darat dan laut, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer kearah darat atau kedaerah laut melalui mangrove.
                   Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total hutan mangrove di Asia tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekositem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebarannya di Indonesia terutama diwilayah pesisir sumatera, Kalimantan dan papua serta riau. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993.kecendrungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar (200.000) hektar/tahun. [4] 
                   Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah dibandingkan dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada di wilayah yang sempit diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah tersebut mempunyai arti bahwa keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove juga harus dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengelolaan mangrove merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik.[5]
            Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius dalam pengelolaan hutan mangrove, perlu di kembangkan mekanisme control dalam pengelolaan sumber daya alam. di mana setiap tindakan yang diambil dapat diketahui secara langsung dampaknya terhadap lingkungan hidup. Sehingga dapat dilakukan pencegahan kerusakan sedini mungkin.[6]
            Landasan hukum pengelolaan hutan didasarkan berlakunya  UU Nomor Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan (UUPK). Pembinaan hutan bertujuan untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari, baik langsung maupun tidak langsung dalam usaha membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Di segi pembinaan, terdapat berbagai aspek yang erat terkait dan saling tergantung sebagai mata rantai pembinaan hutan merupakan kesatuan yang utuh antara aspek yuridis, aspek teknis, manajemen, dan aspek administrasi.[7]
Pengurusan hutan secara luas meliputi antara lain :
1.      Mengatur dan melaksanakan perlindungan hutan
2.      Mengukuh dan menata batas hutan
3.      Membina pengelolaan dan pengusahaan hutan
4.      Mengurus hutan suaka alam dan hutan wisata, perlindungan    satwa dan pemburuan
5.      Menyelenggarakan inventarisasi hutan.
6.      Menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan khusus dibidang kehutanan
7.      Melakukan penelitian sosial ekonomi kehutanan terutama pada masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan.[8]
                 Dalam pembangunan kehutanan, keikutsertaan masyarakat di kawasan hutan dan sekitarnya akan ditingkatkan, dan usaha kehutanan yang besar akan lebih didorong agar dapat membantu pengembangan usaha hutan rakyat dan perajin kayu. Dengan demikian, maka ada peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya nyata Departemen Kehutanan dalam ikut mengentaskan kemiskinan.
            Pengelolaan hutan juga termasuk pembinaan hutan dan aspek pelestarian hutan. Karena itu, pengendalian penebangan hutan mangrove, seperti halnya pembuatan tambak di area hutan mangrove dan pengambilan batu karang merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan, yaitu antara aspek sosial dan aspek pelestarian hutan. Apabila pemanfaatan hutan dikaitkan dengan kondisi sosial di dalam dan disekitar hutan, maka di sisi lain pembinaan hutan, terdapat beragam target yang sasarannya belum optimal tercapai.
            Sektor partisipasi masyarakat yang dibutuhkan dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan masih sangat kurang. Terutama, untuk menjadi pekerja musiman. Kalaupun ada, tenaga yang diminta di sektor pengusahaan itu akan diupah rendah. Sebagian besar tenaga kerja di datangkan dari luar lokasi bahkan, jauh dari lokasi pengusahaan hutan.
            Ekosistem hutan mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut, daerah pantai dengan kondisi tanah berlumpur, berpasir, atau berlumpur pasir. Ekosistem tersebut merupakan ekosistem yang khas untuk daerah tropis, terdapat di daerah pantai yang berlumpur dan airnya tenang (gelombang air laut tidak besar). Ekosistem hutan itu bisa sebut juga ekosistem hutan payau karena terdapat didaerah payau (estuarin), yaitu daerah perairan dengan kadar garam/salinitas antara 0,5% dan 30%, disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena terdapat didaerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.[9]
4.      Konsep Pengelolaan Hutan Mangrove Dalam Islam
            Islam banyak memiliki konsepsi yang mengatur hubungan antara manusia dan Alam. Banyak ayat yang membahas tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan alam, dan Islam sebagai ajaran  jelas-jelas melarang manusia untuk merusak hutan (alam). karena Islam sebagai agama rahmatan Lil’alamin juga melarang keras manusia berbuat kerusakan dimuka bumi ini.
            Upaya menjaga hutan mangrove dari kerusakan dan untuk menanggulangi masalah perusakan hutan mangrove yang semakin terjadi, telah ada aturan ketentuan mengenai perlindungan dan pengamanan dari kerusakan yaitu dalam bentuk norma hukum atau peraturan hukum . Peraturan Hukum tersebut berisikan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh subyek hukum dan larangan untuk tidak melakukan Perbuatan kerusakan terhadap hutan mangrove seperti penebangan hutan secara liar, pencemaran atau perusakan satwa-satwanya. dan bagi yang tidak mematuhi peraturan itu maka akan di jatuhi sanksi administrasi, perdata, pidana dan tindakan tata tertib sekaligus, seperti yang telah di atur dalam undang-undang Inpres RI Nomor 4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal di Kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Indonesia. [10] Hal ini di lakukan agar pengontrolan atau pengawasan yang dilakukan dapat berfungsi dalam mencegah dan menanggulangi pencemaran atau perusakan hutan mangrove hidup berlaku secara efektif. 
            Mungkin tidak ada hal yang begitu mengkhawatirkan akhir-akhir ini selain krisis perusakan hutan.sebab, kerusakan hutan telah menjadi bencana di hampir semua belahan dunia. Begitu pula di Indonesia. pembabatan hutan mangrove semakin marak, satwa di sekitarnya punah ,hal tersebut disebabkan karena pembangunan ekonomi terlalu mengedepankan target-target pengejaran material dengan tidak memberikan perhatian lebih pada aspek lingkungan hidup.[11]
            Permasalahan pembabatan hutan mangrove bisa juga dikategorikan dengan pencemaran alam dan lingkugan hidup sedangkan kerusakan alam/lingkungan hidup dalam pandangan hukum Islam adalah merupakan hubungan yang memiliki rambu-rambu yang jelas dan dapat di akomodir seperti hukum-hukum yang lain dalam bidang muamalah ( kehidupan sosial-masyarakat)
            Dalam hukum Islam perbuatan perusakan alam merupakan perbuatan yang sangat dilarang hukumnya. Sedangkan kalau dilihat dari akibat dan dampak negatif yang ditimbulkan dari kerusakan hutan maka dalil yang digunakan dalam menentukan hukum adalah Syadu al-dzariaah perusakan lingkungan hidup (hutan) dalam hukum Islam dapat diancam dengan sanksi berupa ta’zir, dan bentuk dan macam sanksinya diserahkan kepada pemerintah atau penguasa.[12]
            Semestinya kita sadari bahwa kondisi pembabatan hutan secara liar tersebut tidak hanya cukup hanya diatasi dengan seperangkat peraturan hukum dan undang-undang sekuler, tetapi juga perlu kesadaran otentik dari relung-relung batin setiap individu yang wujudnya adalah nilai-nilai moral dan agama. Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam mengarungi world-view pemeluknya dan menggerakkan dengan amat kuat perilaku-perilaku mereka dalam kehidupan. Karena itu, dalam konteks umat beragama, kepedulian terhadap alam/lingkungan hidup amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama mengenai memelihara dan melestarikan alam/lingkungan hidup dan satwa sekitarnya disajikan dan dieksplorasi oleh para elitenya dengan bahasa-bahasa modern dan ekologis.[13]
            Peran agama sangat dibutuhkan untuk memberi tompangan nilai, agama tidak lagi hanya berkutat pada masalah-masalah spiritual dan eskatologis, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek riil masyarakat pemeluknya. Caranya adalah dengan menanamkan nilai-nilai moral sehingga manusia memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi masalah-masalahnya dengan tanpa merusak harmoni dengan lingkungannya termasuk hutan mangrove. Dengan nilai-nilai moral agama, manusia memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya seperti hukum dan sejumlah peraturan.
            Intelektual-intelektual Islam telah memperluas lingkup kajiannya pada isu-isu modern tersebut dalam karya-karya mereka. Ini menandai adanya sense of future dari para ulama untuk memperbesar kapasitas peran hukum Islam dalam kehidupan modern. Islam disadari harus mampu berbicara di panggung dunia dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan hidup. Kesadaran untuk melakukan transpormasi fikih Islam tidak lahir dari luar, tetapi tumbuh secara organik dari dalam berupa pesan-pesan universal syariah yang selama ini masih tertunda implementasinya dan belum dieksplorasi secara optimal. Karena itu, kebutuhan untuk memperluas kapasitas hukum Islam dalam masalah-masalah modern bukanlah suatu hal yang asing dan aneh.[14]
            Islam sebagai agama yang secara organik memerhatikan manusia dan alam memiliki potensi amat besar untuk memproteksi bumi. Dalam Alqur’an sendiri kata albumiah (ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam. Kata syari’ah yang sering dipadankan dengan hukum Islam memiliki arti sumber air disamping bermakna jalan, dalam konteks perlindungan alam, makna syari’ah bisa berarti sumber kehidupan yang mencakup nilai-nilai etik dan hukum. Komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan hidup juga banyak disebutkan dalam Alqur’an dan hadis. Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan hidup yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam surat-al baqarah ayat 30:
øŒÎ) tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar