Selasa, 27 Desember 2011

























































 
BAB III
DESKRIPSI PENEBANGAN HUTAN MANGROVE (MANGROVE)
DI KECAMATAN MANDAH INDRIGIRI HILIR

A.    Daerah Penebangan Hutan Mangrove (Mangrove)
            Akhir-akhir ini dunia memasuki krisis lingkungan hidup yang terus melaju tampa terkendali.[1] salah satunya penebangan hutan mangrove yang semakin bertambah marak. Hal tersebut menimbulkan kerusakan bagi satwa dan lingkungan sekitar hutan mangrove, pembabatan liar itu juga terjadi di Mandah Indragiri Hilir penebangan hutan mangrove semakin marak mereka tidak mengindahkan kelestarian hutan tetapi tujuan mereka hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi diri pribadinya.
            Kabupaten Indragiri hilir yang terletak di bagian selatan Propinsi Riau, dengan luas wilayah kurang lebih 18.812,94 km yang meliputi 11.605,97 km berupa daratan, 6.318,00 Km perairan laut dan 888,97 km adalah perairan umum, Kabupaten tersebut memiliki garis pantai sepanjang 339,50 km. sebagian besar wilayah ini merupakan daratan rendah (dengan tinggi 1-4 meter di atas permukaan laut), dialiri oleh parit dengan kondisi perairannya yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut.[2] Kecamatan Mandah yang merupakan lokasi kajian terletak di Utara Kabupaten Indragiri Hilir dengan luas wilayah 1.479,42 Km terdiri dari Sembilan desa seperti table berikut:
Tabel I. Nama Desa dan Luas Wilayah yang ada di Kecamatan Mandah. Tahun 2011.
No
Nama Desa
Luas Wilayah (Km)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Khariah Mandah
Igal
Mangrove Aceh
Belaras
Bente
Pelanduk
Batang Tumu
Pulau Cawan
Bekawan
208,73
213,76
176,96
367,38
117, 98
172,43
145,20
36,30
41,00

Jumlah
1.479, 24
Sumber : BPS dan Bappeda Kabupaten Indragiri Hilir, 2011
Tabel II. Rata-rata hari dan curah hujan di wilayah Kecamatan Mandah,   Tahun 2011
No
Bulan
Hari Hujan
Curah Hujan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
10
2
6
11
8
7
5
7
5s
17
13
16
212.3
114.6
194.4
222.7
135.7
202.4
92.4
114.5
86.4
358.4
112.4
113.4

Jumlah
107
1979.7
Sumber : BPS dan Bapeda Indragiri Hilir, 2011
Berdasarkan aspek administratif kepemerintahan, kecamatan Mandah berbatasan dengan:
a.       Sebelah Utara dengan kecamatan Teluk Belengkong (Kateman)
b.      Sebelah Selatan dengan Kecamatan Gaung
c.       Sebelah Barat dengan Kabupaten Kampar
d.      Sebelah Timur dengan Kabupaten Tanjung Balai Karimun (Propinsi Kepulauan Riau).
            Kabupaten tersebut memiki garis pantai sepanjang 339,50 km². Sebagian besar wilayah ini merupakan daratan rendah (dengan tinggi 1-4 meter di atas permukaan laut), di aliri oleh parit dengan kondisi perairannya yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut.[3] Kecamatan Mandah yang merupakan lokasi kajian terletak di Utara Kabupaten Indragiri Hilir dengan luas wilayah 1.479.,42 Km² terdiri dari Sembilan desa dan terletak pada posisi 102 52,28 sampai dengan 103 18,9 BT˚ dan 0 16’54,13”s/d 0 7’16 96”LS˚.
            Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau memiliki kawasan hutan mangrove yang cukup luas, dengan luas kurang lebih 133.972 ha dari total kawasan hutan yang mencapai 1.024.025 ha. Kawasan hutan mangrove tersebut tersebar ditujuh kecamatan yakni, kuala Indragiri, Mandah, Tanah Merah, GAS, Reteh, Kateman dan Enok. Sebagai daerah yang memiliki garis pantai sepanjang 339,50 Km². sebagian masyarakat kabupaten Indragiri Hilir hidup dikawasan pesisir pantai dan dekat dengan hutan mangrove, sehingga kehidupan masyarakat tersebut sangat tergantung dengan keberadaan hutan tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
            Akan tetapi keberadaan hutan Mangrove pada saat ini cukup mengkhawatirkan karena berbagai ancaman aktifitas manusia, salah satunya adalah kegiatan pengambilan kayu Mangrove yang berdiameter dibawah 10 cm yang oleh masyarakat setempat di sebut “teki”. Kayu Mangrove tersebut sebagian besar digunakan untuk kebutuhan pondasi (cerucuk) dalam mendirikan bangunan di daerah daratan rendah khususnya daerah payau seperti kecamatan mandah kabupaten Indragiri Hilir
            Wilayah sebagian besar terdiri dari daratan rendah, daerah endapan sungai, rawa-rawa dengan tanah gambut yang banyak ditumbuhi kayu Mangrove yang disebut juga hutan Mangrove (mangrove) dan ditepi-tepi sungai dan muara parit-parit banyak terdapat sungai-sungai juga terdapat pulau-pulau yaitu pulau cawan, pulau kurau,pulau kelayang dan pulau busung, karena daerah kecamatan Mandah merupakan daerah gambut, maka daerah ini digolongkan daerah beriklim tropis basah.
Masyarakat kecamatan Mandah mempunyai mata pencaharian ada dua bentuk, ada sebagai mata pencaharian pokok bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup yaitu dengan bertani Kelapa dan ada juga sebagian mata pencaharian masyarakat sebagai Nelayan untuk mencari ikan,udang, kepiting, kerang dll. Profesi sebagai nelayan ini pada umumnya ditekuni suku-suku laut yang memang hidup mereka dihabiskan untuk dilaut.
       Kemudian menurut sejarah yang menjadi suku asli dan pada umumnya suku yang mendominasi di Kecamatan Mandah yaitu suku Melayu.[4]Selebihnya suku Jawa, Banjar, Bugis, Suku laut, Cina dan Ombilin mereka ini pada umumnya pendatang yang menetap sebagai petani proposional dalam artian hanya punya satu mata pencaharian sebagai petani. Kemudian disamping itu ada juga sebagian kecil warga cina dan ombilin sebagai pedagang di pusat Kecamatan Mandah tersebut. Mayoritas penduduk warga masyarakat Kecamatan Mandah beragama Islam hingga mencapai 98,78 %.[5]
                   Usaha dan kegiatan penebangan di Indragiri Hilir ini sudah dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang merusak hutan mangrove beserta satwanya, karena penebangan liar yang dilakukan oleh orang-orang tersebut dalam seharinya 25 batang dan berapa kalau seandainya dalam setahun, kemungkinan besar hutan mangrove tersebut akan segera punah diharapkan tindakan tegas dari aparat setempat demi kelestarian hutan mangrove beserta satwanya. 
            Kegiatan pengambilan/penebangan hutan Mangrove tersebut juga melibatkan masyarakat sekitar dan dapat digolongkan sebagai kegiatan yang “Ilegal” , karena pengambilan ini dilakukan tanpa mendapatkan izin resmi dari pemerintah setempat, apabila kegiatan ini tidak mendapat perhatian dari pihak-pihak yang berwenang, maka keberadaan hutan Mangrove di kecamatan mandah akan lambat laun akan semakin menipis, kondisi ini akan mengancam kelestarian lingkungan serta mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup disekitar area hutan mangrove.
            Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sangat rendah merupakan salah satu factor penyebab maraknya eksploitasi hutan khususnya hutan Mangrove (mangrove), sehingga perlu dilakukan bagaimana upaya pola pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam rangka mengatasi pengambilan kayu Mangrove (teki) secara illegal. Kerusakan hutan mangrove akibat penebangan berimbas pada masyarakat sekitar area hutan mangrove seperti kurangnya pendapatan nelayan tradisional,
                Berdasarkan hasil observasi penulis dilapangan, dimana penulis melihat langsung kegiatan penebangan yang dilakukan oleh para penebang, adapun penebangan yang dilakukan oleh para penebang sifatnya berpindah-pindah, sebagian besar para penebang berasal dari luar area hutan mangrove ada yang dari jawa, bedeng, banten dan lain-lainnya dan ada juga sebagian penebangnya merupakan masyarakat sekitar hutan manrove. peralatan yang mereka gunakan ada menggunakan kapak,sinso, gergaji dan peralatan lainnya, yang berasal dari luar daerah mereka mendirikan pondok kecil di area hutan tersebut untuk sekedar tidur dimalam hari. Kayu mangrove dijual dengan harga Rp.6.000 perbatangnya.
            Ancaman lainnya terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai.
            Barangkali ancaman yang paling serius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram.
B.  Proses Penebangan yang Berakibat pada Lingkungan, Masyarakat sekitar dan Negara.
             Ratusan masyarakat suku asli, baik dari Desa Bolak Raya maupun Desa blaras, desa Igal, desa plandok, desa bente menggantungkan hidupnya disana. Ada yang menjadi nelayan, mencari siput, lokan, buah tanah, ketam dan udang. Selama ini kerimbunan hutan Mangrove di sepanjang rawa-rawa, menjadi surga bermacam ekosistem khas sungai itu. Kawasan hutan sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia dari tahun ke tahun terus terdegradasi akibat pembabakan liar, namun para pelakunya sulit dijerat hukum.
            Hutan yang terdegradasi diperkirakan telah mencapai 59 juta Ha dari total luas hutan 120 juta Ha. Dalam setahun laju kerusakan hutan mencapai 2,8 Ha dan apabila tidak dihentikan maka pada tahun 2015 seluruh hutan alam di negara ini akan punah alias hancur. Kita tahu bahwa akibat fatal yang ditimbulkan pembalakan liar adalah bencana alam yang akan mengancam kehidupan generasi berikutnya.
            Bencana alam itu, seperti banjir, akan selalu menghantui kita bila pembalakan liar tidak dihentikan, bahkan akibat hutan yang rusak berat saat ini berarti kita mempersiapkan kemiskinan jangka panjang di Indonasia. Luas hutan Indonesia yang tergradasi mencapai 59 juta Ha, sedangkan kemampuan kita untuk merehabilitasinya hanya 600 ribu Ha per tahun. Ini berarti untuk menghijaukan kembali seluruh hutan yang sudah terlanjur rusak butuh waktu 120 tahun, itu pun bisa dicapai dengan catatan bahwa hutan yang masih ada saat ini tidak dirusak lagi.
                 Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sangat rendah merupakan salah satu factor penyebab maraknya eksploitasi hutan khususnya hutan Mangrove (mangrove), sehingga perlu dilakukan bagaimana upaya pola pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam rangka mengatasi pengambilan kayu Mangrove (teki) secara illegal.
            Kerusakan hutan mangrove akibat penebangan berimbas pada masyarakat sekitar area hutan mangrove seperti kurangnya pendapatan nelayan tradisional,
C. Bentuk-bentuk Kerusakan Hutan Mangrove (Mangrove) di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir
            Kehadiran hutan mangrove tidak saja sebagai meredam gelombang dan angin, pelindung dari abrasi dan pengikisan pantai oleh air laut, penahan intrusi air laut kedarat, penahan lumpur dan perangkap sedimen. Hutan mangrove juga terbukti sebagai penghasil sejumlah besar detritus bagi plankton yang merupakan sumber makanan utama biodata laut sebagai daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding grounds), dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, Sebagai habitat bagi beberapa satwa liar, seperti burung, reptilia (biawak, ular), dan mamalia (monyet). Sebagai penghasil kayu konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas. Dan tidak mustahil, hutan mangrove dapat dikelola menjadi lokasi ekowisata.
                Di Riau, sekitar 6 pulau tenggelam akibat abrasi air laut. Keenam pulau itu adalah Nipah, Barkih, Raya, Jenir, Desa Muntai dan Sinabo. Tenggelamnya pulau-pulau itu adalah akibat eksploitasi hutan mangrove yang membabi-buta di Riau. Dari fakta tersebut pemerintah harus mempertahankan kondisi mangrove yang masih ada dengan menghentikan perizinan yang bertujuan mengkonversikan hutan mangrove menjadi bentuk lain seperti tambak, pertanian, HPH, industri, pemukiman dan sebagainya. Selanjutnya rehabilitasi hutan dapat dilakukan pada hutan mangrove yang memiliki kondisi yang paling kritis dan butuh penanganan segera.
                Selanjutnya pemerintah juga perlu menyadarkan masyarakat akan pentingnya hutan mangrove bagi ekosistem di laut atau di darat. Beri dukungan, baik secara moral dan materil kepada usaha-usaha yang bertujuan menjaga kelestarian hutan mangrove, baik itu di belahan dunia lain maupun di Indonesia. Beri juga dukungan bagi kebijakan-kebijakan pelestarian hutan mangrove dan lawan segala bentuk eksploitasi hutan mangrove demi kepentingan ekonomi. Pemerintah juga wajib memberikan pendidikan pelestarian lingkungan sejak dini kepada masyarakat. Dengan mengajarkan bahwa pelestarian hutan mangrove adalah salah satu cara membuat bumi semakin baik dan sangat bermanfaat untuk anak cucu kelak.
            Ancaman lainnya akibat kerusakan hutan mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai.
            Barangkali ancaman yang paling serius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram.
            Keberadaan hutan Mangrove dikecamatan Mandah saat ini sangat dilematis karena terjadinya pengeksploitasian baik untuk lahan pertanian dalam arti luas maupun tempat pemukiman. Disamping itu juga terjadi pengambilan kayu secara illegal pada kawasan Mangrove, termasuk daerah jalur hijau yang merupakan daerah penyanggah (buffer zone) hal ini menyebabkan kerusakan hutan semakin sulit dikontrol. Suatu sisi kondisi psikologis menganggap bahwa hutan yang tidak dikelola merupakan milik mereka, sehingga pengambilan kayu sangat sulit untuk dicegah. [6]
Kerusakan hutan mangrove akibat penebangan liar dikecamatan Mandah Indragiri Hilir saat ini sangat memprihatinkan, dari observasi penulis kelapangan penebangan yang dilakukan sebagian besar bukan oleh masyarakat sekitar area hutan mangrove tetapi dari luar area hutan mangrove seperti Jawa, Bedeng, mereka melakukan penebangan dengan berpindah-pindah dari area satu ke area lainnya, wawancara penulis dengan Bapak Darmawi salah satu penebang hutan mangrove dia mengatakan:
Saya melakukan penebangan pohon mangrove ini untuk dijual  perbatangnya kepada pengusaha dengan harga satu batang Rp.4000 dalam sehari kadang-kadang menghasilkan 15 batang, itupun tujuan saya karna tidak ada mata pencaharian lain untuk menghidupi dan melengkapi kebutuhan keluarga.[7]
                   Usaha dan kegiatan penebangan di Indragiri Hilir ini sudah dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang merusak hutan mangrove beserta satwanya, karena penebangan liar yang dilakukan oleh orang-orang tersebut dalam seharinya 25 batang dan berapa kalau seandainya dalam setahun, kemungkinan besar hutan mangrove tersebut akan segera punah diharapkan tindakan tegas dari aparat setempat demi kelestarian hutan mangrove beserta satwanya. 
            Penebangan yang dilakukan sedikit banyaknya membuat denyut ekonomi masyarakat nelayan tradisional sekitar area hutan mangrove menjadi menurun. Masyarakat yang mata pencahariannya hanya bergantung sebagai nelayan mencari udang, ketam, ikan, siput, kerang dan lain sebagainya akan sangat menurun karena selama ini kerimbunan hutan mangrove disepanjang rawa-rawa menjadi surga bermacam-macam ekosistem tersebut. nelayan-nelayan secara tradisional semakin hari semakin berkurang. Pada saat hutan Mangrove (Mangrove) belum ditebang beberapa tahun yang lalu penghasilan nelayan perhari mencapai puluhan kilo sekali melaut, tapi saat ini mendapat dua kilo ikan dan udang saja susah.wawancara dengan nelayan tradisional:
Beberape tahun yang lalu sebelum hutan mangrove ditebang penghasilan kami lebeh banyak dari pade yang sekarang ini cume beberape kilo saje. Siput, kegang, ketam sudah sangat payah dicari.[8]
(beberapa tahun yang lalu sebelum hutan mangrove ditebang penghasilan kami lebih banyak dari pada yang sekarang ini Cuma beberapa kilo saja. Siput, kerang, kepiting sudah susah dicari)
            Pada kenyataannya sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya melakukan intervensi dalam kawasan ekosistem mangrove, hal ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kegiatan yang merubah alih fungsi lahan serta kegiatan penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan, seperti kegiatan-kegiatan komersial, industry dan pertanian. Selain itu juga meningkatnya terhadap kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove, kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove. Dalam situasi seperti ini habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya dan mengakibatkan hutan mangrove dengan cepat semakin menipis dan rusak










[1] M.Said Saile, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup, Jakarta: CV Restu Agung, 2003.II 23
[2] BPS dan Bapeda Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun 2011
[3] Bps dan Bapeda Kabupaten Indragiri Hilir, 2011
[4] Tannas Effendi, Perkembangan Adat Melayu Riau (Riau : Kencana, 2006), h.2
[5] Ibid h.4
[6] Dishut Inhil, 2003
[7] Darmawi, Wawancara Pribadi,  di Indragiri Hilir, Tanggal 20 Juli 2011
[8] Azwar AB, Wawancara Pribadi, Indragiri Hilir, Tanggal 23 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar